Fatwa di Era Disrupsi: Menyemai Toleransi, Melindungi Keberagaman

Fatwa di Era Disrupsi: Menyemai Toleransi, Melindungi Keberagaman

Categorie(s):
   Buku
Author(s):
   Siti Uswatun Khasanah, MA.Hum
Tahun:
   2022
Item Type:
 e-books

Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi tantangan
serius di negeri ini. Situasi pandemi Covid-19 tidak menyurutkan
sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab untuk berbuat anarkis
dan brutal menyerang rumah ibadah milik kelompok masyarakat lain yang
dianggapnya berbeda dan bah... (selengkapnya)

DESKRIPSI



Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi tantangan
serius di negeri ini. Situasi pandemi Covid-19 tidak menyurutkan
sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab untuk berbuat anarkis
dan brutal menyerang rumah ibadah milik kelompok masyarakat lain yang
dianggapnya berbeda dan bahkan sesat. Hal tersebut tentu menjadi ancaman
nyata bagi kehidupan toleransi antar maupun intraumat beragama dan
keberagaman yang selama ini kita rawat bersama di atas fondasi Bhinneka
Tunggal Ika.
Hasil riset Setara Institute sebetulnya mengonfirmasi ancaman tersebut,
yaitu adanya peningkatan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan (KBB) pada masa pandemi ini. Sepanjang 2020, dari sisi
tindakan tercatat ada 422 pelanggaran, melonjak tajam dibanding tahun 2019
yang tercatat sebanyak 327 pelanggaran.
Aksi penyerangan dan perusakan tempat ibadah dan gedung milik Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Gana, Kecamatan Tempunuk,
Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, yang terjadi pada 3 September 2021
lalu, adalah bukti nyata bahwa isu kebebasan beragama dan berkeyakinan
masih menjadi PR besar bagi semua pemangku kepentingan.
Dalam kasus tersebut, negara jelas memiliki peran dan tanggung jawab
paling besar sebagai pembuat kebijakan dan sebagai institusi yang memiliki
otoritas untuk menggerakkan kekuatannya (TNI dan Polri) maupun aparatur negara lainnya untuk mencegah dan menindak aksi kekerasan yang dilakukan atas nama agama apapun dan kelompok mana pun.
Di lain sisi, tokoh masyarakat, ormas keagamaan, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam isu keagamaan, media, pemerintah daerah, pe-
2 Fatwa di Era Disrupsi
negak hukum, dan terutama institusi negara yang bersinggungan dengan isu
agama seperti Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selalu dinantikan terobosannya untuk memastikan kejadian di atas tidak terulang dan tidak menjadi preseden buruk dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Wabilkhusus dalam upaya dan ikhtiar dalam menyemai benih-benih
toleransi dan melindungi keberagaman yang ada agar harmonisasi bangsa
senantiasa terjaga.
Dalam konteks tersebut MUI dan ormas Islam yang memiliki otoritas
keagamaan, harus didorong agar dapat mengeluarkan fatwa-fatwa progresif
dan moderat untuk penguatan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Walaupun dalam kasus Ahmadiyah, MUI memang sudah berfatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat. Fatwa MUI Nomor 11/Munas VII/ MUI15/2005
tentang Aliran Ahmadiyah tersebut diduga mendorong sebagian masyarakat
awam untuk main hakim sendiri. Padahal jika kita baca fatwa tersebut dengan saksama, tidak ada poin yang mengajak masyarakat untuk menindak
sendiri apalagi dengan cara-cara kekerasan.
Oleh karena itu, perlu ada upaya-upaya yang lebih komprehensif dalam
mengkaji dan merumuskan strategi untuk terus mendorong lahirnya fatwa-
-fatwa progresif untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan dari ormas
besar seperti, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Islam
(Persis), dan terutama Majaelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendapuk diri
sebagai shadiqul-hukumah dan khadilmul-ummah.
Selain itu, penting juga untuk menelaah lebih jauh apa saja yang bisa dilakukan agar fatwa-fatwa moderat dan progresif tersebut dapat menjangkau masyarakat lebih luas dari berbagai kalangan dengan optimalisasi peran media, baik cetak, elektronik, bahkan media sosial, di tengah era disrupsi
ini, di mana perubahan dan arus informasi begitu cepat mengalir tanpa saringan yang berarti. Fenomena tersebut tentu sangat mudah untuk dipelintir dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memancing di air keruh yang
ingin bangsa ini selalu rusuh dengan mendompleng isu agama dan sektarian.
Seperti halnya konflik penurunan patung Buddha di Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada tahun 2016, di mana sekelompok massa beringas dengan
anarkis merusak tempat ibadah karena informasi yang tidak valid beredar di
media sosial (Tempo 2016). Atau halnya kejadian pembakaran masjid di Tolikara pada tahun 2015 yang begitu cepat karena informasi dalam bentuk hasutan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bukan tidak mungkin
hal-hal seperti ini dapat mengganggu kerukunan dan kebebasan beragama di
Indonesia yang senantiasa kita jaga bersama-sama hingga saat ini.
Menyemai Toleransi, Melindungi Keberagaman 3
Dengan masih adanya beberapa gejolak dan konflik keagamaan di atas,
penting juga dicermati adanya pergeseran secara mendalam cara publik
dalam membentuk paham keagamaannya yang bisa mendisrupsi otoritas
organisasi keagamaan yang sudah mapan (Arifin, 2020) semacam MUI,
Muhammadiyah, NU, Persis, dan beberapa ormas keagamaan lain yang
memiliki akar kuat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, perdamaian
dan kebinekaan.
Sosiolog agama, Syamsul Arifin (2020), melihat adanya fenomena di atas
akibat adanya percepatan dan ketersesakan dengan berbagai informasi inilah
yang membuat banyak orang terpapar dengan informasi bohong (hoaks),
namun diterima sebagai suatu kebenaran. Realitas inilah yang disebut
dengan masyarakat pascakebenaran (posttruth society).
Arifin (2020) menambahkan, kalangan yang terpapar posttruth lebih tunduk kepada emosi, keyakinan pribadi, atau ideologi yang dianutnya, daripada kebenaran objektif faktual. Penerimaan terhadap informasi tertentu lebih
didasari oleh perasaan suka atau tidak suka, sehingga betapa pun informasi dari pihak lain didasarkan pada kebenaran faktual, tetapi karena memang
sudah tidak suka, maka ditolaknya. Dan sebaliknya, menurut Arifin (2020),
karena memang sejak awal sudah suka, informasi dari kalangannya sendiri
langsung diterima kendati belum tentu benar.
Oleh karena itu, melihat betapa pentingnya peranan fatwa di era disrupsi seperti sekarang ini, International Center for Islam and Pluralism (ICIP)
bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) mengadakan program dua kali lokakarya terbatas dengan mengundang ulama dan
intelektual muda dari berbagai ormas keagamaan di daerah Jabodetabek,
pengurus atau anggota lembaga fatwa di masing-masing ormas keagamaan, penggiat media online dan media sosial, terutama yang memelopori kanal-kanal media keislaman moderat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang memiliki concern dalam isu kebebasan beragama dan keyakinan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari lokakarya tersebut adalah: pertama, membahas prinsip-prinsip mengeluarkan dan mempertimbangkan fatwa moderat (progresif) yang mengacu pada tradisi sumber Islam klasik dan
modern dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan; kedua, meaningkatkan kemampuan dan pengetahuan ulama muda dan mufti di daerah
dalam isu-isu kebebasan beragama dan berkeyakinan di era disruspi; ketiga,
mengkaji dan mendorong lahirnya fatwa-fatwa progresif dan moderat dari
ormas keagamaan; keempat, menyusun strategi dan aksi penyebaran fatwa
moderat dan progresif melalui media, terutama media online dan media so-
4 Fatwa di Era Disrupsi
sial kepada masyarakat muslim Indonesia; kelima, membangun jaringan ulama muda, mufti di daerah, dan penggiat media sosial, untuk memperkuat kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Dari dua rangkaian lokakarya tersebut, tanggapan para peserta yang memiliki latar belakang beragam tersebut menyambut dengan positif dan antusias menyikapi adanya ancaman dan tantangan isu keagamaan di era disrupsi ini, utamanya terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Sejumlah pandangan maupun pengalaman mengenai strategi dan aksi untuk
menguatkan fatwa-fatwa progresif dan moderat di lembaga fatwa masing-
-masing bermunculan dalam lokakarya tersebut.
Perlunya sinergi dan kolaborasi nyata antar lembaga fatwa dan para penggiat media keislaman dalam menyuarakan dan menyiarkan fatwa-fatwa
progresif dan moderat di era disrupsi ini, tercetus di dalam serial lokakarya
tersebut. Mengingat penting dan perlunya melihat isu fatwa di era disrupsi
dalam upaya menyemai toleransi dan melindungi keragaman, ICIP berinisiatif untuk memberikan ruang kepada peserta lokakarya untuk menyampaikan padangan dan gagasannya dalam bentuk tulisan semipopuler. Sejumlah
artikel yang dihimpun ini kemudian diterbitkan ke dalam format buku antologi yang memuat sejumlah pandangan maupun kritik yang konstruktif bagi
pemajuan fatwa progresif dan moderat di era disrupsi ini.
Dalam kurun waktu yang cukup singkat yakni sekitar tiga bulan, ICIP
berhasil mengumpulkan sejumlah tulisan, mengedit, serta kemudian menerbitkannya menjadi sebuah buku. Dengan mayoritas penulis adalah para intelektual muda dari berbagai latar belakang yang tentu masih harus terus berkembang di tengah perubahan yang begitu cepat, tentu buku ini jauh dari
kata sempurna.
Namun ICIP yakin bahwa tulisan-tulisan yang ada di dalamnya adalah
representasi autentik dari pandangan sejumlah masyarakat muslim yang beragam di Indonesia, khususnya dari kelompok muda yang belum memiliki
beban dan cenderung nothing to lose. Dan di luar itu semua, dalam hal ini
ICIP sebagai penerbit tidak bertanggung jawab jika ada artikel yang dianggap
memojokkan pihak tertentu. Karena buku ini adalah ruang ekspresi yang be-s
bas untuk menyuarakan pendapat dan berbagai pemikiran, hak jawab ada sepenuhnya di tangan penulis.
Akhirulkalam, semoga buku ini menjadi salah satu sumber referensi dan
informasi bagi masyarakat luas di era disrupsi ini, wabilkhusus bagi para akademisi, peneliti, dan aktivis keagamaan, yang selama ini mengkaji dan menekuni isu fatwa. Semoga bermanfaat dan selamat membaca